Menyeberang Jalan di Brunei

Ada banyak hal menarik yang saya temui saat traveling ke Brunei Darussalam. Salah satunya adalah pengalaman saya saat menyeberang jalan raya di kawasan Pusat Bandar, Bandar Seri Begawan.

FYI, jalanan di Brunei ini lengangnya masya Allah. Kalau niat, bisa saja kita menghitung jumlah mobil yang lewat dengan tangan kosong dalam durasi waktu tertentu. Bahkan di pusat kotanya sekalipun.

Jadi ceritanya di suatu siang saya ingin menyeberang jalan dari Waterfront menuju Mall Yayasan Sultan Haji Hassanal Bolkiah. Sisi jalan di depan Waterfront sudah saya seberangi. Saya berdiri di separator. Saat akan lanjut menyeberang, saya melihat ada mobil yang melaju dengan kecepatan sedang dari arah kiri.

Sebenarnya jika dipaksa untuk menyeberang, masih sempat bagi saya walaupun sambil agak berlari. Namun saya menahan diri untuk menyeberang, memberikan kesempatan kepada mobil tersebut untuk melintas. Toh cuma ada 2 mobil saja.

Alangkah terkejutnya saya, mobil tersebut tiba-tiba berhenti tepat sebelum di hadapan saya. Terlihat seorang encik berpeci yang mengendarai mobil tersebut memberikan isyarat dengan tangannya agar saya menyeberang dahulu. Masya Allah…

Saya pun menyeberang jalan sambil melempar senyum kepada beliau serta mengangkat tangan saya memberikan isyarat terima kasih. Beliau juga membalas senyum saya.

Terus terang, andai encik tadi lewat duluan pun tidak masalah sebenarnya. Seperti saya katakan sebelumnya, di belakang beliau hanya ada 1 mobil saja ketika itu. Butuh waktu sekejap saja bagi saya untuk menunggu kedua mobil tersebut melintas. Jalanannya sepi begitu.

Lengangnya jalanan di Pusat Bandar, Bandar Seri Begawan

Lengangnya jalanan di Pusat Bandar, Bandar Seri Begawan

Kalau di Indonesia, begitu menemui celah sedikit untuk menyeberang, hampir pasti saya paksakan untuk menyeberang, cepat-cepatan sama mobil atau sepeda motor yang mau lewat. Soalnya belum tentu setelah itu bakal menemui momen yang agak sepi untuk menyeberang.

Terkait pengalaman saya itu, saya sempat berpikir mungkin hal itu dilakukan karena beliaunya saja yang terlalu baik. Namun, kejadian yang sama saya alami berikutnya ketika menyeberang jalan di depan Masjid Sultan Omar Ali Saefuddien.

Kali ini “orang baik”-nya adalah seorang pemudi yang dari wajahnya sepertinya berasal dari etnis Tionghoa di Brunei. Kejadiannya sama, saat hendak menyeberang saya diam berdiri di separator bermaksud untuk memberikan mobil yang melaju dari arah kiri — juga dengan kecepatan sedang — agar melintas duluan.

Tapi begitu sampai di depan saya, mobil tersebut berhenti dan memberikan kesempatan bagi saya untuk menyeberang. Masya Allah…

Ada jarak 5 detik sebenarnya dari posisi mobil itu melaju sampai tiba di hadapan saya. Kalau di Indonesia biasanya sang pengemudi sudah mafhum artinya kita memberikan kesempatan mereka untuk melintas duluan. Tapi di sini tidak demikian.

Kejadi seperti ini setidaknya ada 3-5 kali saya temui ketika menyeberang jalan di Bandar Seri Begawan, baik yang saya alami sendiri atau orang lain yang kebetulan tidak sengaja teramati oleh saya. Saya tidak tahu apakah memang ada UU yang mengatur secara resmi mengenai mendahulukan pejalan kaki untuk menyeberang jalan, atau memang sudah menjadi budaya atau tata krama di penduduk Brunei.

Yang jelas kehidupan jalanan Brunei Darussalam itu berbeda sekali dengan di Indonesia. Perasaan aman tentram sangat saya rasakan di sana. Benar-benar mencerminkan namanya, “Darussalam”. Berbeda dengan di Indonesia di mana kesabaran kita diuji sedemikian rupa di jalanan. 😀

6 thoughts on “Menyeberang Jalan di Brunei

  1. Ardianzah

    Yah mas, di Jakarta jangankan cuma nyebrang. Trotoar sbg haknya pejalan kaki aja dipake motor, dan motornya gak mau ngalah, hehe. Cerita yg menarik mas 🙂

    Like

    Reply
    1. otidh Post author

      Nah itulah mas. Di Indonesia umumnya pejalan kaki yang harus mengalah. Udah terlalu rame jg kali ya pengguna jalannya. Jadi ngelihat yang kosong dikit langsung disamber. 😀

      Liked by 1 person

      Reply

Leave a comment