Foto bersama sebelum mulai mendaki

17 Agustusan di Gunung Papandayan (Bag. 1)

Ini adalah cerita pendakian aku dan teman-temanku pada bulan Agustus kemarin ke Gunung Papandayan. Saat itu di grup secara random tiba-tiba ada teman yang melempar wacana untuk naik gunung. Kebetulan sudah hampir setahun lamanya aku nggak nanjak dan lagi pingin banget naik gunung lagi. Aku pun menyambut positif wacana tersebut.

Disepakatilah Gunung Papandayan yang terletak di Kabupaten Garut sebagai pilihan kami. Papandayan kami pilih karena lokasinya dekat dari Bandung, Cikarang, dan Jakarta — kota domisili kami — dan urusan perizinan pendakiannya tidak ribet. Setahun sebelumnya aku sempat mendaki ke sana. Namun, ketika itu tidak sampai camping di sana. Naik pagi, turun sore.

Tanggal yang kami sepakati secara kebetulan bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus. Bukan sebuah kesengajaan sebetulnya. Kawan-kawan banyak bisanya hanya tanggal segitu, weekend yang terdekat dari tanggal pelemparan wacana.

Kami sadar betul bahwa pada tanggal segitu pasti Papandayan akan dipenuhi dengan pendaki yang ingin merayakan hari kemerdekaan di gunung. Kalau boleh memilih, sebenarnya kami ingin menghindari tanggal tersebut, karena aku pribadi kurang suka naik gunung yang terlalu ramai dengan pendaki. Satu hal yang kucari dari naik gunung adalah ketenangannya, yang jauh dari hiruk pikuk keramaian manusia.

Meeting Point di Terminal Cicaheum, Bandung

Sabtu, 16 Agustus, sekitar pukul setengah 10 pagi kami berkumpul di seberang Terminal Cicaheum, Bandung. Total rombongan ada 6 orang. Aku dan Gin, kami berdua berdomisili di Bandung jadi langsung ke Terminal Cicaheum dari rumah masing-masing. Sementara Pambudi, Listiyanto, Arif, dan Reza datang dari Cikarang dengan menggunakan bus PRIMAJASA ke Terminal Leuwi Panjang lalu menyambung bus DAMRI ke Cicaheum.

Di seberang Terminal Cicaheum sudah menunggu elf tujuan Garut. Elf tersebut tengah ngetem mencari penumpang. Kami ditarik oleh sang kernet untuk naik elf tersebut. Di dalam elf sudah ada 1 orang sesama calon pendaki Papandayan. Tas-tas carrier kami oleh sang kernet tersebut ditempatkan di atas elf.

Elf ke Garut

Elf ke Garut

Perjalanan dari Cicaheum menuju Terminal Guntur di Garut dengan elf ini menempuh waktu kurang lebih 2 jam. Ongkosnya Rp20.000 per penumpang.

Sesampainya di Terminal Guntur, kami mampir ke salah satu warung makan yang terletak di seberang terminal. Warung makan tersebut menjual sop iga yang ternyata bagi kami rasanya sangat enak! Tapi mahal sih harganya, Rp23.000. Tapi nasinya dikasih bakulan, jadi bisa nambah-nambah. Kami makan dengan lahapnya siang itu. Maklum, pada belum sarapan paginya hehe.

Makan siang sop iga

Makan siang sop iga

Setelah perut terisi, kami melanjutkan perjalanan kembali. Kami naik angkot warna putih-biru dari depan terminal. Banyak angkot yang ngetem di depan terminal dan kebanyakan penumpangnya memang para calon pendaki Gunung Papandayan.

Kami naik angkot tersebut menuju pertigaan Cisurupan. Pertigaan Cisurupan itu adalah lokasi terakhir sebelum gerbang masuk Papandayan yang bisa dijangkau dengan kendaraan umum. Ongkos angkot tersebut adalah Rp15.000 per penumpang. Perjalanan ditempuh selama kurang lebih 30 menit.

Naik angkot ke Cisurupan

Naik angkot ke Cisurupan

Dari pertigaan Cisurupan itu kami ganti menaiki mobil pick up alias mobil dengan bak terbuka menuju gerbang masuk Papandayan. Kami join dengan pendaki-pendaki lainnya dalam satu mobil. Satu mobil pick up bisa diisi hingga 10 orang. Masing-masing membayar Rp20.000. Perjalanan ditempuh dalam waktu sekitar 20-30 menit kalau tidak salah. Yang membuat perjalanan agak lama sebenarnya kondisi jalan yang banyak lubang di sana sini. Aspal jalan sebagian besar sudah hancur, cur, cur.

Menjelang masuk ke dalam pelataran parkir Taman Wisata Alam (TWA) Papandayan, mobil pick up berhenti di depan kantor petugas. Ada petugas yang menghampiri mobil kami. Beliau meminta masing-masing ketua rombongan untuk turun dari mobil untuk mengurus perizinan. Biaya yang kami keluarkan masing-masing Rp5.000 untuk karcis masuk. Hanya itu saja.

Setelah surat izin kami kantongi, kami pun berjalan menuju mushola yang terletak di Camp David. Kami menunaikan sholat dhuhur jama’ dengan ashar.

Pendakian Dimulai

Foto bersama sebelum mulai mendaki

Foto bersama sebelum mulai mendaki

Seusai sholat, kami pun memulai pendakian. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore ketika itu.

Kami melakukan trekking menuju Pondok Salada dengan tempo santai. Sesekali berhenti untuk berfoto-foto. Apalagi ketika mencapai lokasi kawah Papandayan. Sayang sekali jika dilewatkan untuk berfoto-foto di sana. Pemandangannya sungguh indah. Asap belerang yang muncul dari kawah memberikan efek dramatis jika dipotret sebagai latar belakang foto.

Narsis dulu kaka...

Narsis dulu kaka…

Setelah melewati kawah, kami mampir ke sebuah warung kopi yang terletak tak jauh dari situ. Yep, Anda nggak salah baca, iya betul, di sana ada warung kopi! Kami mampir beli gorengan dan ngopi-ngopi di sana, wkwkwk.

Ngewarung dulu kaka…

Ngewarung dulu kaka…

Sebentar saja kami mampir di warung tersebut. Kami melanjutkan perjalanan kembali. Sekitar 45 menit kemudian tibalah kami di Guber Hut. Kami tiba tepat saat adzan maghrib berkumandang sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Belakangan saat kami turun, kami baru tahu kalau di Guber Hut ini ternyata terdapat Pos II di mana tiap regu pendaki harus melapor ke sana. Namun, kami tanpa sengaja melewatkannya karena memang kondisi langit sudah cukup gelap sehingga kami tidak menyadari keberadaan Pos II tersebut.

Di Guber Hut sudah ramai dengan tenda-tenda pendaki. Kami sempat kepikiran untuk mendirikan tenda juga di sana. Pasalnya kami mendengar dari kawan-kawan pendaki di sana bahwa Pondok Salada sudah dipenuhi oleh tenda-tenda pendaki yang lain.

Tiba di Guber Hut

Tiba di Guber Hut

Namun kami nekat untuk melanjutkan perjalanan ke Pondok Salada. Tidak ada salahnya untuk jalan dahulu ke sana memastikan kondisi lapangan di sana. Pikir kami, jika ternyata tidak ada ruang lagi untuk mendirikan tenda, kami bisa kembali lagi ke Guber Hut ini. Toh jaraknya tidak jauh. Hanya 15-20 menit saja berjalan kaki.

Nge-camp di Pondok Salada

Alhamdulillah, walaupun Pondok Salada telah penuh dengan tenda pendaki, ternyata kalau jeli dan sabar, masih cukup banyak tanah kosong yang bisa dimanfaatkan untuk tempat mendirikan tenda. Tenda kami terpaksa berdempet-dempetan dengan tenda-tenda pendaki yang lain.

Suhu dingin mulai terasa menusuk. Angin sepoi-sepoi yang berhembus ikut menambah dinginnya malam itu.

Setelah tenda selesai didirikan, tanpa banyak membuang waktu kami pun mulai mengeluarkan peralatan memasak kami. Kami memasak nasi, merebus mie, dan menggoreng telor. Tidak lupa sembari menunggu nasi matang, kami bergantian menunaikan sholat maghrib dan isya’.

Makan malam

Makan malam

Pukul 9 malam, setelah selesai makan malam, kami semua masuk ke dalam tenda. Terpaksa, pasalnya cuaca dingin di luar semakin menusuk-nusuk tubuh kami (haha, sorry lebay). Di dalam tenda kami masuk ke sesi curcol malam. Ngerilah, cowok-cowok ternyata juga punya sesi curhatan juga haha. Ya, nggak murni curhat juga sih. Kami lebih banyak berbagi cerita seru pengalaman traveling yang sudah pernah dijalani masing-masing. Sebagian ada yang cerita tentang pekerjaan juga. Duh, orang-orang ini lagi liburan, ceritanya juga masih tentang urusan pekerjaan juga haha.

Sesi curcol malam sambil tidur-tiduran

Sesi curcol malam sambil tidur-tiduran

Sekitar pukul 10 malam, tiba-tiba suasana menjadi hening. Kami kehabisan kata-kata. Tak ada cerita lagi yang terucap. Satu per satu tanpa dikomando teman-teman pun tertidur. Sementara itu Pambudi dan Reza ternyata masih melanjutkan obrolan pribadi mereka. Namun aku sudah lelah untuk nimbrung. Akhirnya aku pun juga tertidur. (bersambung)

2 thoughts on “17 Agustusan di Gunung Papandayan (Bag. 1)

Leave a comment