Depan National Museum (photo by Ian)

Backpacking Indochina 9D8N (Bag. 8): Day 7 – Phnom Penh-Ho Chi Minh

Jumat, 30 Mei 2014

Bus Virak Buntham mulai memperlambat jalannya dan beberapa kali berhenti di traffic lights. Kondisi tersebut membuatku terjaga dari tidurku. Banyaknya traffic lights yang kami temui dan rumah-rumah atau toko penduduk di kanan kiri jalan menandakan kami mulai memasuki kawasan kota.

Saat itu waktu menunjukkan pukul 5 pagi. Aku langsung bertayamum di tempat tidurku. Kemudian melaksanakan sholat shubuh sambil posisi setengah telentang. Kondisinya di situ memang sangat susah untuk bisa melaksanakan sholat sambil duduk.

Sekitar 1 jam kemudian bus tiba di depan kantor agen bus Virak Buntham. Di sanalah pemberhentian terakhir dan satu-satunya bus yang kami tumpangi ini di Phnom Penh. Lokasinya ternyata sangat dekat dari kawasan Riverside yang terkenal di Phnom Penh ini. Kantor agen bus Virak Buntham ini ternyata juga bersebelahan dengan pool bus Giant Ibis, bus eksekutif yang sempat masuk pertimbangan kami dalam memilih moda bus Siem Reap-Phnom Penh.

Di depan kantor agen bus Virak Buntham (photo by Ian)

Di depan kantor agen bus Virak Buntham (photo by Ian)

Kesalahpahaman dengan sopir tuk-tuk

Masih ingat dengan ceritaku di artikel sebelum ini yang bilang bahwa sopir tuk-tuk kami di Angkor Wat menawarkan temannya sesama sopir tuk-tuk di Phnom Penh untuk menjemput kami? Sempat terjadi kesalahpahaman di sini. Sopir tuk-tuk mengira kami ingin menginap dan berkeliling di Phnom Penh setibanya kami di sana. Padahal kami hanya transit sebentar sebelum melanjutkan perjalanan ke Ho Chi Minh.

Sopir tuk-tuk sudah terlanjur mengajak teman-temannya sehingga total ada 6 tuk-tuk yang datang menjemput kami pagi itu. Sayangnya kami tidak bisa mengubah itinerary yang kami susun karena keterbatasan waktu. Sang perwakilan sopir tuk-tuk sempat agak emosi ketika kami mengatakan kami hanya ingin jalan kaki di sekitar kawasan Riverside ini saja sebelum pergi ke Ho Chi Minh.

Kami pun bernegosiasi dengan sopir tuk-tuk untuk mencari win-win solution. Sebenarnya kami kasihan juga dengan mereka yang sudah datang pagi-pagi menyambut “rejeki” yang sudah di depan mata ini. Akhirnya kami meminta mereka untuk mengantarkan kami ke restoran halal di sekitar Riverside ini. Kami akan membayar jasa mereka USD 1 per tuk-tuk. Mereka menyetujui usulan kami. Lumayanlah daripada tidak dapat uang sama sekali kata perwakilan mereka. Selain itu, kami juga menyetujui permintaan mereka untuk membelikan kami tiket bus ke Ho Chi Minh.

Terhadap permintaan mereka yang terakhir ini sebenarnya kami agak ragu. Takut kalau mereka menipu kami. Apalagi tiket bus yang mereka tawarkan lebih murah daripada jika
membeli melalui agen. Mereka menawarkan USD 8, lebih murah daripada di agen yang harganya USD 10.

Aku yakin dengan harga segitu dan memesankan tiket untuk 18 orang pasti mereka akan memperoleh komisi dari pihak bus. Makanya kami sempat khawatir jangan-jangan ini bus abal-abal yang akan kami naiki. Karena itu kami meminta mereka agar kami diperbolehkan untuk membayar DP setengahnya terlebih dahulu, dan baru melunasinya sebelum bus berangkat. Untungya mereka tidak mempermasalahkan.

Oh ya, di Phnom Penh ini kami berpisah lebih awal dengan Pambudi, Listyanto, kak Simon, dan kak Febri. Mereka cabut lebih dahulu ke Ho Chi Minh dengan menumpang bus Khai Nam keberangkatan pukul 8 pagi. Menurut rencana mereka akan pulang dari Ho Chi Minh pagi keesokan harinya. Karena itu mereka cabut lebih dahulu agar memiliki waktu lebih lama di Ho Chi Minh.

Jalan-jalan di kawasan Riverside

Kami diantarkan oleh sopir tuk-tuk ke restoran India muslim di depan kawasan Riverside. Sayangnya pagi itu restoran ini belum sepenuhnya buka. Mereka tampak sibuk menyiapkan bahan masakan dan menata restoran. Akhirnya kami mengalihkan pilihan kami ke restoran lain. Kami diantarkan ke sebuah restoran muslim melayu yang bernama Halal Restaurant.

“Halal Restaurant” Phnom Penh

Numpang ngecharge di restoran (photo by Putri)

Numpang ngecharge di restoran (photo by Putri)

Lebih enak makan di sini menurutku daripada restoran India. Menunya lebih familiar di lidah, hehe. Pagi itu aku memesan nasi goreng ayam dan es teh tarik.

Setelah makan, kami berjalan kaki menuju Riverside. Cuaca Phnom Penh menjelang pukul 9 pagi ini sudah begitu teriknya. Cuacanya 11-12 lah sama Siem Reap. Panas banget.

Riverside ini adalah taman kota Phnom Penh yang lokasinya berada di sisi sungai Mekong. Di sepanjang riverside ini terdapat bangku-bangku taman, area fitness, dan tiang-tiang bendera negara-negara di dunia. Aku cukup salut dengan pemerintah kota Phnom Penh ini. Terutama dengan fasilitas peralatan fitness yang mereka sediakan secara gratis di taman. Mengingatkanku pada taman kota di Reservoir Makau. Walaupun Kamboja termasuk negara berkembang, warganya hebat sekali bisa menjaga peralatan fitness ini agar tetap terawat.

Area fitness (photo by Ian)

Area fitness (photo by Ian)

Masih di kawasan Riverside, tak jauh dari situ terdapat beberapa objek turisme seperti National Museum dan Royal Palace. Kalau kita perhatikan, model bangunan tradisional Kamboja ini mirip sekali dengan Thailand. National Museum dan Royal Palace (istana raja) memiliki model yang mirip dengan Royal Palace atau Wat Pho-nya Thailand. Warna emas pun juga menjadi warna dominasi cat bangunan ini.

Karena keterbatasan waktu, tak satupun di antara dua tempat tersebut yang kami masuki. Untuk masuk ke tempat tersebut, ada entrance fee yang harus dibayar. Aku lupa berapa tepatnya. Kami hanya berfoto-foto di area luarnya saja dengan menjadikan kedua tempat sebagai latar belakang foto kami.

Depan National Museum (photo by Ian)

Depan National Museum (photo by Ian)

Tiang-tiang bendera di tepi sungai Mekong

Tiang-tiang bendera di tepi sungai Mekong

Yang paling indah dan worthy of visit tentu taman depan Royal Palace. Tamannya sangat rapi dan bersih. Dan yang paling menyenangkan adalah banyak burung dara yang berjalan-jalan dan beterbangan di taman. Suasananya seperti di taman-taman kota Eropa seperti yang pernah kulihat di TV atau internet.

Sayangnya tak semua dari kami sempat ke sana. Hanya aku, Pras, dan Khairul saja yang ke sana. Yang lain masih asyik foto-foto di area fitness dan depan National Museum. Faktor cuaca yang sangat terik ditambah bawaan ransel yang besar di punggung membuat kami agak berat berjalan jauh saat itu.

Di taman depan Royal Palace ini ada orang yang menjual biji-biji jagung untuk dikasih ke burung-burung dara tersebut. Kami membeli 3 bungkus biji jagung tersebut dengan harga USD 1. Seru lho ngasih makan burung-burung tersebut. Begitu kita lempar biji-biji tersebut, tiba-tiba secara serempak burung-burung dara itu langsung berkumpul memakannya. Udah gitu terus kami foto-foto deh dengan burung-burung tersebut hehe. Tapi burung-burung ini ternyata pemalu juga. Begitu didekati mereka langsung beterbangan meninggalkanku, haha.

Royal Palace dan burung dara

Royal Palace dan burung dara

Menjelang pukul 10 kami beranjak mencari tumpangan tuk-tuk yang mangkal di sekitar Royal Palace. Kami minta diantarkan kembali ke depan kantor agen Virak Buntham karena di sanalah kami janjian dengan perwakilan sopir tuk-tuk untuk melunasi sisa pembayaran tiket bus. Dan di sana jugalah kami akan dijemput oleh pihak bus.

Oh ya, di dekat Riverside ini selain objek turisme yang sudah aku ceritakan tadi ada satu tourist attraction lagi, yakni Night Market yang lokasinya di seberang pool bus Giant Ibis. Karena namanya “Night” Market, tentu bukanya saat malam hari. Jadi pagi itu kami tidak mampir ke sana, cuma numpang lewat dan foto-foto saja, hehe.

Perjalanan dengan bus Khai Nam

Di depan kantor agen Virak Buntham itu sudah menunggu satu mobil sejenis minivan yang ukurannya cukup besar. Mobil tersebut adalah mobil jemputan yang akan mengantarkan kami ke pool bus Khai Nam. Khai Nam ini adalah nama bus yang akan kami tumpangi. Setelah melunasi pembayaran, kami segera masuk ke dalam mobil dan setelah itu mobil langsung berangkat.

Lokasinya agak jauh ternyata dari situ. Butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai ke pool. Begitu tiba di pool kami segera menunjukkan tiket kami kepada kondektur. Ransel-ransel kami masukkan ke dalam bagasi. Setelah itu kami masuk ke dalam bus. Selain rombongan kami yang ber-18, ada beberapa bule dan beberapa orang lokal Vietnam.

Aku sendiri duduk di kursi paling belakang bus. Di sampingku ada satu orang yang dari mukanya sepertinya lebih mirip orang Vietnam daripada orang Kamboja. Dia tiba-tiba mengajakku mengobrol dengan menggunakan bahasa yang kuduga adalah bahasa Vietnam. Aku pun bilang, “No, no… sorry, I don’t speak Vietnamese.”

Dari raut wajahnya aku tidak yakin dia mengerti apa yang baru saja aku katakan. Dia terus ngobrol dengan bahasa Vietnam sambil memberi isyarat mengusap-ngusap tangannya di depan mukanya dan menunjuk mukaku. Sepertinya maksud dia, dia nggak percaya dilihat dari bentuk muka dan warna kulit kami yang satu ras tapi aku bukan orang Vietnam. Setelah itu dia tiba-tiba tertawa. Aku pun ikut tertawa sambil berkata, “Ya iya Pak… masih sama-sama Asia Tenggara, mirip dikit wajarlah.” 😀

Di dalam bus Khai Nam (photo by Rizky)

Di dalam bus Khai Nam (photo by Rizky)

Selang beberapa menit kemudian bus pun berangkat. Pukul 12 siang kami tiba di dermaga penyeberangan sungai Mekong. Jadi dalam perjalanan Phnom Penh-Ho Chi Minh ini, salah satu rutenya adalah menyeberangi sungai Mekong yang sangat lebar itu. Bus menumpang kapal feri untuk menyeberangi sungai tersebut. Namun hanya sebentar saja waktu yang dibutuhkan untuk penyeberangan itu. Hanya 5 menit bus sudah tiba di seberang sungai dan melanjutkan perjalanan kembali.

Di tengah perjalanan sang kondektur bus tiba-tiba meminta paspor setiap penumpang. Tentu saja kami sempat khawatir akan terjadi apa-apa dengan paspor kami. Namun, melihat bule-bule itu dan penumpang lokal yang lain dengan santainya menyerahkan paspor mereka, aku pun menjadi tidak ragu turut menyerahkannya juga walaupun tidak jelas apa maksudnya. Sang kondektur sendiri tidak bisa berbahasa Inggris, jadi agak susah meminta keterangan dari dia. Namun, ada dua orang dari teman kami yang tetap keukeuh untuk tidak menyerahkan paspor mereka.

Pukul setengah 2 siang bus berhenti di sebuah rumah makan. Rumah makan ini masih di bawah satu pengelola operator bus Khai Nam. Terlihat dari tulisan nama rumah makan yang terpampang besar di depan, serta warna cat dinding rumah makan yang serupa dengan warna dominan body bus yang kami tumpangi. Di sana juga terdapat satu lagi bus Khai Nam jurusan arah sebaliknya.

Transit di rumah makan Khai Nam

Transit di rumah makan Khai Nam

Di sana kami hanya numpang ke toilet saja. Mau beli makan siang, tapi meragukan sekali menunya. Sepertinya serba pork. Nama menunya menggunakan bahasa Vietnam dan Kamboja, sehingga sangat susah untuk dimengerti. Untuk mengganjal perut, kami membeli buah-buahan saja yang ada di depan rumah makan.

Kurang lebih ada waktu setengah jam kami transit di rumah makan ini. Oh ya, sebelum transit di rumah makan ini, bus sempat transit di sebuah SPBU. Di sana kita mendapatkan waktu sekitar 10 menit untuk ke toilet dan beli snack atau minuman di minimart yang ada di situ.

Tiba di keimigrasian

Lokasi rumah makan Khai Nam ini ternyata tak jauh dari perbatasan Kamboja-Vietnam. Hanya 15 menit setelah bus melanjutkan perjalanan kami sudah tiba di perbatasan.

Ada pemandangan tak biasa yang aku lihat saat itu. Kondektur bus menyerahkan paspor-paspor penumpang yang telah dia kumpulkan sebelumnya kepada petugas imigrasi Kamboja di luar bus. Sekilas aku melihat sang kondektur juga menyelipkan sejumlah uang kepada petugas imigrasi tersebut.

Wew! Ternyata itu maksud paspor kami semua dikumpulkan. Kami tak perlu repot turun untuk berurusan dengan imigrasi Kamboja. Tahu-tahu paspor kami sudah menerima cap keluar Kamboja.

Beberapa saat kemudian bus melanjutkan perjalanan kembali. Mengetahui fakta tadi, dua orang teman kami yang menolak menyerahkan paspornya terang saja menjadi panik. Mereka mendatangi kondektur dan menyerahkan paspor mereka agar ikut mendapatkan cap keluar. Sambil agak bersungut, sang kondektur tersebut akhirnya turun lagi dan kembali mendatangi petugas imigrasi tadi dan memintakan cap keluar untuk paspor teman kami itu. Untunglah… kalau tidak dapat cap keluar, bisa-bisa dapat masalah di keimigrasian nanti dua orang temanku ini nantinya.

Setelah selesai urusan imigrasi Kamboja, bus tiba di gedung imigrasi Vietnam. Kali ini kami semua harus turun dan membawa ransel kami masing-masing. Nah, masalahnya paspor belum kami pegang, masih dibawa oleh sang kondektur.

Gedung imigrasi Vietnam

Gedung imigrasi Vietnam

Ternyata eh ternyata, saat kami masuk ke dalam gedung imigrasi, kami baru mengetahui kalau ternyata imigrasi Vietnam ini 11-12 dengan imigrasi Kamboja tadi. Kami hanya tinggal menunggu paspor kami dicap oleh petugas tanpa harus menghadap ke mereka.

Ada dua orang yang bekerja di sana. Satu orang berpakaian resmi petugas keimigrasian Vietnam berwarna hijau lumut. Beliau mengecap satu per satu paspor-paspor yang menumpuk di hadapannya. Sementara itu, satu orang lagi berpakaian kemeja biru muda polos yang sudah agak lusuh dan mengenakan topi bertugas memanggili nama-nama yang tertera pada paspor yang sudah dicap.

Antrian cukup panjang saat itu. Tumpukan paspor bisa dibilang sudah cukup tinggi. Beberapa orang Vietnam yang baru datang kulihat menyelipkan sejumlah uang Vietnam Dong (VND) di dalam paspor yang mereka serahkan kepada petugas imigrasi.

Sementara itu bule-bule yang satu bus dengan kami tiba-tiba didatangi oleh petugas berkemeja biru tadi. Entah apa yang mereka bicarakan. Sejumput kemudian sang bule memberikan sejumlah uang kepada petugas tadi. USD 10 kalau aku tidak salah lihat lembar uang yang mereka berikan itu.

Tak lama kemudian paspor-paspor kami mulai dibagikan. Proses pembagiannya itu mirip banget sama guru bagi hasil ujian di sekolah. Dipanggil satu-satu, ambil paspor, terus langsung keluar menuju tempat scanning tas. Alhamdulillah kami tidak sampai mengeluarkan uang untuk urusan imigrasi ini.

Masuk Vietnam

Setelah semua penumpang menyelesaikan urusan imigrasinya masing-masing dan naik kembali ke dalam bus, bus pun melanjutkan perjalanannya kembali. Jumlah penumpang bus kali ini bertambah beberapa orang. Ada beberapa orang Vietnam yang baru naik dari perbatasan tadi.

Ada kejadian lucu dan membuat kami menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi. Jadi begini… ketika bus meninggalkan rumah makan Khai Nam tadi, satu orang penumpang orang Vietnam yang sebelumnya duduk di sebelahku ternyata sudah tidak ada di tempat. Kupikir beliau memang tujuan akhirnya di rumah makan tadi.

Ternyata eh ternyata, saat bus meninggalkan imigrasi, orang tersebut entah dari mana tiba-tiba naik ke dalam bus lagi. Lho? Kami berspekulasi jangan-jangan orang tadi bersengkongkol dengan awak bus untuk menghindari keimgrasian. Dengan kata lain beliau adalah imigran gelap(?). Haha… teuing ah. Benar-benar pengalaman yang mencengangkan, haha.

Pemberhentian terakhir bus Khai Nam ini adalah di Phạm Ngũ Lão street, Ho Chi Minh. Tepatnya di tepi jalan dekat taman. Perjalanan dari perbatasan hingga Phạm Ngũ Lão ini kurang lebih memakan waktu 2 jam.

Impresi pertamaku ketika memasuki kota Ho Chi Minh ini adalah… wow, Ho Chi Minh benar-benar kota lautan sepeda motor. Dibandingkan dengan Jakarta, populasi motor di jalan raya Ho Chi Minh ini jauh di atasnya. Sepeda motor di sana tampak mencolok laksana sekerumunan lebah yang berbondong-bondong terbang dari sarangnya mungkin dikarenakan perbandingannya dengan mobil yang jumlahnya tidak sebanyak di Jakarta. Ada hubungannya dengan kebijakan ideologi komunis mungkin?

Suasana jalan raya di Ho Chi Minh (photo by Rizky)

Suasana jalan raya di Ho Chi Minh (photo by Rizky)

Impresi kedua adalah tentang gaya berpakaian perempuannya. Gaya berpakaian mereka bisa dikatakan modis-modis. Kata teman yang penggemar acara-acara TV Korea, mode pakaian yang gadis-gadis Vietnam ini ikuti sepertinya berkiblat ke sana. Tak sedikit yang berpakaiannya cenderung “berani”.

Impresi ketiga, dari sisi warna kulit, oran-orang Vietnam ini umumnya berkulit kuning langsat. Beda dengan Kamboja yang lebih banyak orang berkulit sawo matang seperti kebanyakan orang Indonesia. Mungkin karena Vietnam sejarah awalnya dulu bekas jajahan China, jadi ada pencampuran dengan mereka.

Impresi keempat, wow… ramai sekali taman kota Phạm Ngũ Lão ini. Orang-orang banyak yang menghabiskan waktu sore itu di taman. Ada yang jogging, ada yang pacaran, yang cowok-cowok ada yang bermain olahraga sepak bulutangkis alias đá cầu dalam bahasa mereka atau Jianzi dalam bahasa China. Olahraga ini sangat populer di Vietnam, dan merupakan olahraga nomor satu negara mereka.

Check-in penginapan

Dari Phạm Ngũ Lão kami menyeberang jalan ke arah selatan. Setelah itu menyusuri trotoar depan kawasan pertokoan dan tour agent. Sesampainya di persimpangan Abdan, Khairul, Jaul, dan Benny berjalan ke arah barat. Mereka mencari letak Bizu Hotel yang menjadi tempat menginap mereka selama di Ho Chi Minh ini. Sementara kami ber-14 sisanya berjalan ke arah timur menuju lokasi Kaiteki Hong Kong Hotel.

Kaiteki Hotel

Kaiteki Hotel

Saat check-in di Kaiteki Hotel ini, masing-masing dari kami diminta untuk menitipkan paspor di resepsionis. Beberapa teman sempat agak protes kenapa paspor harus dititipkan di situ. Kami khawatir terjadi kenapa-kenapa dengan paspor kami. Mbak-mbak resepsionis berusaha menenangkan. Katanya turis di sana nggak akan ditanyai paspor di jalan oleh petugas keamanan dsb. Justru dititipkan di hostel itu supaya aman paspornya dari kecopetan di jalan. Katanya sih beberapa kali kejadian seperti itu di Ho Chi Minh.

Setelah check-in, masing-masing dari kami mendapatkan satu set perlengkapan mandi yang terdiri atas handuk, gelas, sikat gigi, dan pasta gigi. Selain itu kami juga memperoleh kunci loker untuk tempat menaruh barang di dalam kamar.

Kaiteki Hotel ini hanya memiliki kamar-kamar dengan tipe dormitory (asrama). Namun bedanya dengan kamar dormitory hostel-hostel pada umumnya di mana tamu menempati satu kasur pada ruangan yang terdiri atas beberapa bunk bed (kasur tingkat), di Kaiteki ini tamu akan menempati sebuah “kapsul” di antara kapsul-kapsul tidur yang tersusun berjajar dan bertingkat di dalam kamar.

Kapsul-kapsul tidur

Kapsul-kapsul tidur

Ada 2 macam tipe kapsul di sana, kapsul kelas ekonomi dan bisnis. Bedanya cuma di letak pintu masuknya saja. Yang kelas bisnis ukuran pintu masuknya lebih besar karena berada di sisi panjang kapsul. Sementara yang ekonomi pintu masuknya berada di sisi lebar kapsul.

Untuk soal fasilitas, keduanya sama saja. Di dalam kapsul terdapat AC, safe, LCD TV, USB interface, earphone, dan meja cermin yang bisa digunakan untuk laptopan juga. Asyiklah fasilitasnya. Dibanding yang tipe kamar bunk bed, tipe kamar model kapsul ini lebih privasi sih. Tapi ya itu, jadinya kita bakal agak ansos (anti sosial) sama tetangga dalam satu kamar kita.

Booking tur Cu Chi Tunnels

Pukul 7 malam setelah bersih-bersih diri kami semua keluar untuk mencari makan malam. Sebelum itu kami mendatangi resepsionis terlebih dahulu untuk menanyakan tentang paket tur Cu Chi Tunnels yang di sediakan oleh hotel. Kami memilih paket tur one day Cu Chi Tunnels. Selain paket tur Cu Chi Tunnels ini, hotel juga menyediakan paket tur Mekong Delta.

Kami melunasi pembayaran saat itu juga. Biayanya USD 10. Harga itu belum termasuk tiket masuk Cu Chi Tunnels sebesar VND 90.000. Kalau kami bandingkan dengan travel agent yang lain, standarnya rata-rata memang menawarkan harga segitu. Mungkin ada selisih ± USD 1 lah. Menurut rencana kami akan dijemput oleh pihak EO turnya keesokan harinya.

Jalan-jalan malam ke Ben Thanh Market

Setelah urusan booking tur Cu Chi Tunnels beres, kami cabut jalan kaki ke arah Ben Thanh Market. Di dekat Ben Thanh Market ini ada kampung Melayu di mana banyak bertebaran restoran halal masakan Melayu di sana. Pilihan kami untuk makan malam saat itu jatuh ke Salima Halal Restaurant.

Kami memilih restoran tersebut karena ada embel-embel “Vietnamese Halal Cuisine”. Jauh-jauh ke Vietnam tentu pingin dong merasakan masakan khas lokal sini. Masalahnya kalau beli di orang lokal, agak kurang yakin kehalalannya. Nah, pas banget ada restoran masakan Vietnam halal ini. Yang jual sih memang orang Melayu. Tapi daftar menunya isinya masakan-masakan Vietnam kok.

Makan malam di Salima Halal Restaurant (photo by RIzky)

Makan malam di Salima Halal Restaurant (photo by RIzky)

Aku memilih menu Pho Beef Noodle Soup yang memang menjadi khas masakan Vietnam. Harganya VND 90.000. Nyam, nyam… umm… yummy!! Enak banget, serius! Aku nggak tahu apakah rasa asli Pho emang seperti itu, tapi Pho “versi” Salima Restaurant ini memang enak. Worth the price lah. Untuk minuman aku beli minuman apa ya. Haha, sudah lupa namanya, tapi rasanya masih inget. Oh ya, harga di sini belum termasuk tax ya.

Pho beef noddle soup (wuenaak tenan!)

Pho beef noddle soup (wuenaak tenan!)

Setelah makan malam, kami jalan-jalan ke pasar malam di depan Ben Thanh Market. Di pinggir jalan bertebaran stand-stand pedagang souvenir dan kaos. Aku membeli satu buah kaos bercorak bendera negara Vietnam (kaos warna merah dengan bintang kuning di tengah) seharga VND 50.000.

Suasana pasar malam

Suasana pasar malam

Aku juga membeli satu buah shuttlecock đá cầu seharga VND 10.000. Aku penasaran untuk memainkannya. Setelah dari Ben Thanh market, aku, Pambudi, Listyanto, Pras, dan Hafidh mencoba bermain đá cầu ini di taman. Walaupun jam menunjukkan pukul 10 malam lebih, taman masih sangat ramai dengan warga setempat.

Suasana taman yang masih ramai di malam hari (photo by Ian)

Suasana taman yang masih ramai di malam hari (photo by Ian)

Btw, sekilas melihat pemuda-pemuda lokal memainkan shuttlecock đá cầu kok kayaknya gampang ya. Tapi begitu kami memainkannya, ternyata susah juga. Baru 2-3 stroke sudah mati. Celana Pambudi sampai robek gara-gara berusaha menjangkau shuttlecock yang terlempar terlalu jauh, haha.

Menjelang pukul 11 malam kami menyudahi permainan tersebut. Kami kembali ke hotel. Kami harus beristirahat agar bisa bangun pagi keesokan harinya untuk mengikuti tur Cu Chi Tunnels. (bersambung)

———————————————————————————-

Pengeluaran Day 7

  • Tuk-tuk ke tempat sarapan : USD 6 (share 18 orang)
  • Sarapan di Phnom Penh : USD 4,5
  • Tuk-tuk dari Royal Palace ke depan kantor agen bus Virak Buntham : USD 2 (share 3 orang)
  • Bus Khai Nam Phnom Penh-Ho Chi Minh : USD 8
  • Booking Kaiteki Hotel 2 malam via Agoda : IDR 122.000
  • Tur Cu Chi Tunnels : USD 10
  • Makan malam di Salima Halal Restaurant : VND 135.000
  • Beli souvenir 1 kaos & 1 shuttlecock : VND 60.000

Total = ~ IDR 501.450

*Kurs USD 1 = IDR 11.500
*Kurs VND 1 = IDR 0,56

————————————————————-

Thanks buat foto-fotonya yang dipakai di artikel ini 🙂 :
1. Rizky
2. Ian
3. Putri

————————————————————————————-

Indeks link seri artikel Backpacking Indochina 9D8N:

9 thoughts on “Backpacking Indochina 9D8N (Bag. 8): Day 7 – Phnom Penh-Ho Chi Minh

  1. Matius Teguh Nugroho

    Bro, yg kamu maksud dengan “riverside” itu Sisowath Quay bukan?

    Sayang bgt nggak eksplor Phnom Penh dulu barang sehari. Dari cerita2 yg gue baca, kotanya nyaman. Agak oldies dan nggak terlalu rame 🙂

    Like

    Reply
    1. otidh Post author

      Ah, iya.. bener gan yang saya maksud Sisowath Quay. Makasih udah diberitahu namanya. 🙂

      Iya, sayang memang kami cuma sebentar saja di Phnom Penh. Kotanya nyaman nggak crowded. Mau gimana lagi, waktu kami memang terbatas saat itu. Next time mudah2an ada kesempatan ke sana. 🙂

      Like

      Reply
  2. Pambudi

    wuih sudah terpisah kita di cerita ini 😦 ane sudah cao duluan ke Ho Chi Minh,. Dompet ga tahan kk di negara yang mbayarnya pake USD

    Like

    Reply
    1. otidh Post author

      Masih ada kamu kok mbud di cerita ini. Kan kita masih sempet main peteca di taman malam-malam yg celanamu sampai sobek itu. #eh 😛

      Like

      Reply
    1. otidh Post author

      Kayaknya nggak ada yg langsung bro. Umumnya bus yg Siem Reap-Phnom Penh jg punya jurusan Phnom Penh-Ho Ci Minh. Hmm.. Coba cek Giant Ibis deh.

      Like

      Reply
    1. otidh Post author

      Saya nuker di money changer deket penginapan di HCMC mas. Di area backpacker Phạm Ngũ Lão banyak bertebaran money changer. Tinggal cari rate yang paling bagus aja. Biasanya mereka majang ratenya di depan.

      Like

      Reply

Leave a comment