Catatan Perjalanan Pulau Tidung [Hari 2] — Menjelajah Pulau Tidung

Sabtu, 8 Oktober 2011

4.15. Sayup-sayup suara adzan Subuh terdengar. Aku dan kawan-kawan semua terjaga dari tidur. Yak, sudah saatnya menunaikan sholat Shubuh.

Beberapa teman pergi menuju toilet untuk menyelesaikan urusan pribadi masing-masing. Sementara yang lain menunggu di depan lift lantai 3 stasiun. Beberapa orang telah selesai urusannya di toilet. Tinggal Adi saja berarti yang belum. Ada lima belas menit kami menunggu Adi. Tak disangka ternyata sempat-sempatnya dia mandi subuh-subuh gini di saat kami harus buru-buru, ckckck … Orang mandi kok disalahin, hahaha. 😀

Kami semua pun bersegera menuju mushola stasiun Gambir yang berada di lantai 1 dengan menumpang lift. Kami menunaikan sholat Shubuh di sana.

4.50. Selesai sholat Shubuh kami menuju area parkir stasiun Gambir. Kami mencari taksi yang mau mengantarkan kami ke dermaga Muara Angke. Neo melakukan negosiasi dengan beberapa sopir taksi di sana.

Ya, Neo memang boleh dibilang berperan sebagai pimpinan rombongan kami. Dia memang sudah pengalaman karena pernah ke pulau Tidung sebelumnya. Bahkan urusan akomodasi di pulau Tidung sudah diurusnya dengan mengontak kembali bapak penyedia jasa wisata pulau Tidung sebelumnya.

Negosiasi yang dilakukan dengan sopir taksi tadi akhirnya menghasilkan kesepakatan harga jatuh pada angka Rp60.000 per mobil. Ada dua mobil, satu taksi untuk 4 orang dan satu mobil Toyota Avanza untuk 5 orang. Tanpa basa-basi lagi, kami pun segera masuk ke dalam mobil dan berangkat menuju pelabuhan Muara Angke.

Perjalanan ke Muara Angke ini kurang lebih memakan waktu 30-40 menit. Kondisi jalan pagi itu memang masih sangat sepi. Seharusnya kami bisa sampai lebih cepat jika sang sopir tidak salah mengantarkan kami ke pelabuhan Sunda Kelapa. Ya, sang sopir mengira pelabuhan yang kami maksud itu adalah pelabuhan Sunda Kelapa karena mereka tak tahu kalau di pelabuhan Muara Angke ada kapal penumpang untuk penyeberangan.

Muara Angke

Muara Angke (photo by Jiwo)

5.45. Begitu tiba di pelabuhan Muara Angke, kami langsung buru-buru mencari kapal yang akan berangkat menuju ke Pulau Tidung. Ya, kata Neo, kapal yang ke Pulau Tidung akan berangkat pukul 6 pagi, makanya kami agak buru-buru saat itu. Eh, ternyata kapal yang kami tumpangi baru akan berangkat pukul 7. Berarti ada satu jam lebih kami harus menunggu. Wajar saja sih, ketika kami naik ke atas kapal, baru segelintir orang yang ada di dalam sana.

Oh ya, Kapal yang kami tumpangi ini bernama KM (Kapal Motor) Kurnia. Cuma ngasih tahu saja sih. Kapal dari Muara Angke yang ke pulau Tidung nggak cuma kapal in. Ada kapal-kapal yang lain dengan jam keberangkatan yang berbeda. Tapi aku kurang tahu juga jadwalnya bagaimana.

6.45. Waktu sudah lewat satu jam. Kondisi kapal kali ini sangat penuh. Kalau boleh menebak, mungkin ada sekitar 200-300an orang yang telah naik di atas kapal ini.

Perlu diketahui saja, kapal ini terdiri atas dua tingkat dan kami duduk lesehan berdesakan di dalamnya. Nggak berdesakan banget juga sih. Masih lebih berdesakan saat aku menumpang kereta ekonomi saat lebaran.

Beberapa saat kemudian kapal diberangkatkan. Ya, ternyata walaupun belum jam 7, tetapi karena kapal sudah penuh, kapal pun lansgung diberangkatkan. Tarif Muara Angke-Pulau Tidung adalah Rp33.000 untuk dewasa dan Rp25.000 untuk anak-anak.

Kapal SPBU (photo by Jiwo)

Kapal SPBU (photo by Jiwo)

Barangkali ini adalah rute penyeberangan keempat yang pernah kulakukan. Pengalaman sebelumnya pernah naik kapal Tanjung Perak-Ujung Kamal Madura, Sendhang Biru-Pulau Sempu, dan yang ketiga adalah Ketapang-Gilimanuk. Dalam penyeberangan kali ini aku menemukan hal baru yang belum pernah kulihat sebelumnya. Yakni, di tengah laut pun ternyata ada SPBU juga :)! Ya, di tengah laut ada kapal SPBU Pertamina yang siap menjual dan mungkin juga langsung mengisi bahan bakar untuk kapal.

Coast Guard (photo by Jiwo)

Coast Guard (photo by Jiwo)

Sekitar 20-30 menit perjalanan, kapal diminta merapat oleh petugas patroli pantai ke kapal Coast Guard. Di sana dilakukan pemeriksaan standar keamanan penumpang oleh petugas. Ya, setiap penumpang diwajibkan untuk mengenakan rompi pelampung selama perjalanan. Kondisi yang ada saat itu, jumlah pelampung yang tersedia di dalam kapal tidak mencukupi untuk digunakan semuanya. Akhirnya, oleh pihak Coast Guard-nya diberikan tambahan jaket pelampung dari mereka. Aku masih ingat kata-kata salah seorang petugas saat itu, “Jaket pelampungnya tolong dipakai. Nanti kalau ada apa-apa, yang susah tim SAR-nya.”

Sebelumnya aku belum pernah naik kapal yang mengharuskan untuk mengenakan pelampung. Maklum, penyeberangan yang kutempuh biasanya paling lama cuma sekitar setengah jam. Sedangkan penyeberangan dari Muara Angke ke Pulau Tidung ini akan menempuh waktu 3 jam. Jadi aku kira wajar sih kalau tingkat antisipasinya lebih tinggi.

Suasana dalam kapal

Suasana dalam kapal

Oh ya, aku belum cerita ya soal pertemuan kami dengan salah seorang kakak angkatan kami di Informatika ITB. Ya, awalnya aku yang menyadari hal tersebut ketika di dalam kapal. Tapi karena aku nggak begitu kenal, hanya tahu nama dan wajah saja, awalnya agak sungkan-sungkan sih untuk menegur dia. Selain itu, nggak yakin juga itu adalah kak Naila, IF 2006. Teman-teman yang lain pun juga merasa demikian. Alasannya mungkin karena teman-teman barengannya nggak ada yang kami kenal. Tapi akhirnya aku mencoba menyapanya karena penasaran. Oh, ternyata memang benar, hahaha. 😆

9.40. Kapal yang kami tumpangi akhirnya merapat juga di dermaga Pulau Tidung. Di sana sudah menyambut kami Pak H. Manshur, bapak yang menyediakan penginapan untuk kami. Kami pun langsung kaki berjalan menuju tempat penginapan.

Haryus di depan rumah penginapan

Haryus di depan rumah penginapan

Tempat penginapan yang kami sewa ini sebenarnya adalah sebuah rumah. Rumah ini menyatu dengan rumah Pak Manshur dengan dihubungkan melalui pintu dapur. Ada dua kamar dan dua kamar mandi. Masing-masing kamar terdapat satu AC dan dua tempat tidur (satu tempat tidur besar dan satu tempat tidur kecil). Di ruang tamu telah disediakan satu TV berukuran 14 inci dan karpet untuk alas kami duduk saat kumpul-kumpul. Ruang tengah tersedia meja makan dengan peralatan makannya, satu buah galon air minum dan dispenser yang dapat kita gunakan untuk membuat air panas maupun air dingin. Di ruang tengah ini juga tersedia ruang kecil untuk tempat kami sholat. Kira-kira dua orang muatlah sholat di sana. Biaya sewa penginapan yang kami keluarkan adalah Rp250.000.

10.30. Kami tidak mau berlama-lama di dalam rumah saja. Setelah beristirahat sejenak dan bersih-bersih diri, kami langsung tancap jalan-jalan menjelajahi Pulau Tidung dengan mengendarai sepeda angin yang kami sewa Rp17.000 per sepeda untuk 24 jam. Di Pulau Tidung ini sepeda angin memang banyak yang disewakan untuk memenuhi kebutuhan kendaraan para pelancong.

Balai pembibitan pohon

Balai pembibitan pohon

Tujuan kami adalah menuju “Jembatan Cinta”, ikon Pulau Tidung yang terkenal itu. Jembatan ini menghubungkan dua pulau, Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil. Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil boleh dibilang adalah dua pulau kembar. Bedanya, di Tidung Kecil tidak dihuni untuk tempat tinggal. Kondisi Tidung Kecil adalah lebih banyak pepohonan di sana dan di sana terdapat semacam balai pembibitan pohon. Ketika kami mengunjungi Pulau Tidung Kecil, di sana kami mendapati beberapa orang yang mendirikan tenda untuk menginap. Barangkali buat rekan-rekan yang ingin menginap di tenda selama di pulau Tidung, bisa memilih kawasan dekat balai pembibitan pohon itu sebagai tempat untuk mendirikan tenda.

Untuk menuju PTK kita tidak bisa menggunakan sepeda walaupun telah tersedia jembatan penyeberangan. Sepeda kita harus diparkir di tempat parkir sepeda yang berjarak sekitar 20-an meter sebelum Jembatan Cinta. Biaya parkirnya sangat mahal kataku, Rp2.000 per sepeda. Ngalah-ngalahin parkir sepeda motor saja. Makanya ketika kami balik, kami bernegosiasi dengan abang di pos parkir agar dimurahin. Abangnya setuju. Untuk parkir pertama, kami tetap harus membayar Rp2.000, tapi kalau datang lagi dan parkir di sana, kita cukup membayar Rp1.000.

Jaring-jaring pohon

Jaring-jaring pohon

Kawasan sekitar Jembatan Cinta ini merupakan kawasan yang paling ramai dikunjungi wisatawan Pulau Tidung. Di kawasan ini terdapat banyak macam permainan outbond yang cukup menantang, di antaranya ada banana boat, donut boat, cano, jaring-jaring penyeberangan antar pohon, dsb. Aku kurang tahu tarif setiap jenis permainan. Ketika itu kami mencoba banana boat. Tiap orang dikenakan biaya Rp35.000 sekali jalan. Seru juga ternyata naik banana boat. Kami diajak berputar-putar mengelilingi perairan sekitar jembatan cinta. Di ujung perjalanan sang driver speedboat tiba-tiba sengaja menikung tajam sehingga membuat banana boat kami terbalik. Cukup tersentak juga sih. Tapi sepertinya memang itulah serunya naik banana boat. 😀

Banana boat

Banana boat

Di sekitar jembatan cinta itu juga banyak orang-orang yang bermain-main air atau berenang. Laut di sekitar jembatan cinta ini memang tak begitu dalam karena beberapa puluh meter dari garis pantai tampak dipasang beberapa batu karang untuk membendung air laut. Kalau memiliki nyali yang tinggi, bisa mencoba loncat dari jembatan cinta itu ke laut. Tapi hati-hati. Perhatikan di bawah sekitar kita jangan sampai meloncat ketika ada speedboat atau cano yang lewat karena akan membahayakan kita. Kata salah satu orang di sana, katanya ada orang yang kakinya patah karena loncat dari jembatan cinta dan menimpa speedboat yang sedang melaju kencang.

Jembatan Cinta dengan latar belakang PTK

Jembatan Cinta dengan latar belakang Pulau Tidung Kecil

Jembatan Cinta dengan latar belakang PTB

Jembatan Cinta dengan latar belakang Pulau Tidung Besar

Jembatan Cinta (photo by Jiwo)

Jembatan Cinta (photo by Jiwo)

Jembatan Cinta (photo by Jiwo)

Jembatan Cinta (photo by Jiwo)

Foto bareng habis banana boating

Foto bareng habis banana boating

Sebenarnya, hari itu kami berencana untuk snorkeling juga di kepulauan Seribu ini. Tapi sayangnya cuaca hari itu tak cerah. Langit mendung, bahkan saat tengah hari hujan rintik mulai turun. Kami pun tidak jadi menjelajahi seluruh isi Pulau Tidung Kecil. Kami terpaksa balik ke Pulau Tidung Besar untuk berteduh. Tapi hujan rintik ini tak berlangsung lama. Ketika kami sampai di Pulau Tidung Besar, rintik hujan telah berhenti.

Menunggu makan siang

Menunggu makan siang

Kami pun mulai mencari makan siang. Kami ngikut pilihan Neo karena dia sudah pernah ke Pulau Tidung sebelumnya. Kami pun memilih warung makan seafood serba 15 ribuan. Menunya macam-macam, ada cumi-cumi, tongkol, udang, kerang, soto, dan lain-lain. Lama sekali kami menunggu makanan dihidangkan. Ada sejam mungkin. Mungkin karena antriannya yang cukup banyak dan memasaknya yang cukup lama. Sementara itu perut kami sudah bunyi kerocongan tak sabar menunggu makanan datang. 😛

Bersepeda di tengah ilalang

Bersepeda di tengah ilalang

16.40. Senja tak lama lagi akan tiba. Aku dan kawan-kawan berkeinginan untuk menyaksikan sunset atau matahari tenggelam. Jembatan cinta dan Pulau Tidung Kecil berada di sisi timur dari Pulau Tidung Besar ini. Sementara sunset akan tampak lebih jelas jika disaksikan dari sisi barat pulau. Karena itu, kami menyudahi acara bermain air kami di Jembatan Cinta ini dan ganti mengayuh sepeda ke arah barat sekarang.

Sunset di barat Pulau Tidung

Sunset di barat Pulau Tidung

Tak seperti sisi timur pulau yang cukup padat pemukiman dan bangunan kantor atau sekolah, di sisi barat pulau masih terdapat banyak tanah lapang. Di sana juga banyak terdapat ilalang dan pepohonan yang jaraknya sangat rapat antar pohonnya sehingga bisa dikatakan menyerupai hutan. 

Sisi barat Pulau Tidung Besar ini memang sangat sepi. Pantainya cukup sempit. Maklum saja, jarak antara hutan tadi dengan pantai sangat dekat. Selain itu, di pantai tersebut juga banyak terdapat bebatuan dan semak belukar.

Sayangnya, langit ketika itu cukup berawan dan mendung. Sunset pun menjadi terlihat kurang jelas. Hanya tampak beberapa garis merah di cakrawala sana. Akan tetapi sesungguhnya pemandangan itu masih cukup terlihat cantik.

Tak terasa langit sudah semakin gelap. Sore akan berganti malam. Kami pun balik mengayuh sepeda lagi menuju tempat penginapan menyusuri jalan di tengah hutan dan ilalang kembali.

21.00. Selesai makan malam, kami berkeinginan untuk pergi lagi ke jembatan cinta. Well, sayang kan kalau jauh-jauh ke Pulau Tidung tapi hanya merasakan suasana malam dari dalam rumah saja. Makanya begitu selesai makan malam dan leyeh-leyeh sebentar, kami pun langsung cabut keluar.

Makan malam

Makan malam

Oh ya, menu makan malam kita saat itu adalah pepes ikan beserta kerupuk, sambel, dan lalapannya. Seriously, rasanya enak banget, apalagi makanan itu gratis, hehehe! Tiba-tiba saja saat waktu Isya’, seorang Ibu mengantarkan kami beberapa pepes ikan yang dibungkus daun pisang, sebakul nasi, satu toples kerupuk, dan sepiring sambel serta beberapa ketimun ke dalam rumah. Ternyata, kami memang dikasih makan malam oleh keluarga Pak H. Manshur. Alhamdulillah … rezeki memang nggak ke mana :).

Di jembatan cinta ternyata banyak orang berkumpul di sana. Malam itu adalah malam bulan cembung. Di sekitar bulan terlihat halo yang cukup jelas. Langit yang cerah dengan bintang-bintang yang bertaburan di atas sana membuat kami memulai sesi galau, hahaha. Ya, cuma ngobrol-ngobrol saja cerita-cerita tentang sesuatu sambil menikmati malam dari tepi jembatan. Sementara itu, beberapa orang bermain kembang api yang diledakkan di angkasa. Sebagian yang lain ada yang memancing ikan dengan alat pancing yang sepertinya sengaja dibawa dari rumah. Yang jelas, tak ada yang bermain air malam itu, hehehe.

Oh ya, jangan khawatir harus membayar parkir sepeda, karena saat malam, tukang parkirnya sudah nggak jaga lagi. Sepedanya pun bisa kita parkir di dekat jembatan cinta langsung.

Sekitar pukul 10 malam lewat, kami menyudahi sesi galau malam itu. Kami mengayuh sepeda kembali ke tempat penginapan. Sampai di penginapan kami langsung beristirahat karena harus mengisi energi lagi untuk agenda besok, yakni snorkeling!

37 thoughts on “Catatan Perjalanan Pulau Tidung [Hari 2] — Menjelajah Pulau Tidung

    1. otidh Post author

      Udah saya kirim mas, silakan dicek.

      Banyak kok tanah kosong di pulau Tidung, apalagi yg di pulau Tidung kecil.

      Kalo mau pesta kembang api, mending di jembatan cinta aja. Di sana lebih lapang tuh pemandangannya ke laut lepas dan ke angkasa sana, hehehe…

      Like

      Reply
    1. otidh Post author

      Kalo naik angkutan umum, saya juga ngga tahu mbak. Maklum bukan anak Jakarta. Waktu itu saya dari stasiun gambir nyarter mobil ke angkenya rame2. Kenanya 60 ribu satu mobil. Satu mobil bisa muat paling nggak 5 orang lah…

      Kalo share budgeting, silakan baca tulisan saya saja, hehehe. Sudah saya share semua kok mulai dari ongkos kapal, biaya penginapan, dan biaya lain-lain di sana. 😀

      Oh ya, no kontak pak Manshur udah sy kirim via email. Begitu pula temen2 yg udah minta melalui komen-komen di atas. ^^

      Like

      Reply
    1. otidh Post author

      Wah, komennya persis kayak yg di atas … cuma ganti alamat email aja sama ada kata ‘nya’ hehehe…

      Btw, nomornya udah saya kirim ke email kamu …

      Like

      Reply
  1. aisya

    bang, mungkin seperti yang lainnya
    boleh minta kontak pak mansyur?
    kalau bisa dengan rincian biaya abang dulu
    makasih 😀

    Like

    Reply
    1. otidh Post author

      Maaf mbak Aisya… saya sudah nggak nyimpen no kontak beliau lagi. 😦

      Selain itu jg kata temen2 yg minta no kontak beliau sebelumnya, no yg saya kasih sudah nggak aktif lagi.

      Like

      Reply
  2. Nasti

    Punten mau nanya yah… itu teh sama sekali g pake travel agen yah?
    Lebih murah pake travel agent atau langsung kesana kalau mw k pulau tidung cm berdua.. infonya ya mas.. makasih

    Like

    Reply

Leave a comment